January 17, 2012

Orgasme Syahwat Peradaban

“Kita adalah genarasi gagap yang diperanakkan angkatan pengecut,” inilah sekelumit sajak WS Rendra yang menggambarkan kondisi generasi muda di masa depan.

TAPI ya sudahlah. toh saya juga tak ingin membicarakan sajak-sajak almarhum WS Rendra itu. Saya hanya ingin mencoba membayangkan kondisi generasi muda di masa depan, kondisi di tahun 2012 ini. Bahkan, untuk tahun-tahun berkutnya, terlebih kita masih merasakan euvora tahun baru hingga di pertengahan bulan Januari ini.

Menyinggung soal masa depan, khusunya bagi seorang anak muda, kalau boleh saya mengutip sedikt saja pemikiran Tan Malaka. Agar otak kita sedikit terangsang oleh ‘syahwat’ keorganisasian.

Dalam buku: “Semangat Muda,” yang pernah ditulis Tan Malaka sekitar bulan Januari 1926 di Tokyo, sang Maestro seolah ingin menegaskan, semangat anak muda itu: “Bagaimana menjalankan organisasi revolusioner sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu, yaitu dengan menggandeng perjuangan politik (nasional), dengan perjuanagan ekonomi (kelas), dengan menyatukan perjuangan pembebasan nasional dengan perjuangan pembebasan kelas buruh.”

Pada kalimat yang heroik ini, Tan Malaka ingin menata program nasional yang mengikutsertakan kaum borjuis kecil dan kaum tani Indonesia, yang notabene saat itu jumlahnya lebih besar dari pada kaum buruh. Sementara kaum buruh bertindak sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan.

Naskah ini juga sangatlah relevan sebagai pelajaran sejarah bagi gerakan di Indonesia saat ini, gerakan anti-imperialis (anti modal asing) harus disatukan dengan gerakan pembebasan buruh dan kaum tani sebagai sebuah kelas.

Gerakan nasional dan gerakan kelas tidak boleh dilihat sebagai dua tahap yang terpisah, tetapi sebagai satu kesatuan. Ini benar untuk Indonesia di era 1926 dan terlebih benar untuk Indonesia saat ini.

“Ah terlalu berat kalau kita memikirkan konsep Tan Malaka itu saat ini. Indonesia sudah merdeka bung, bangunlah dari mimpi. Reformasi sudah didengungkan 14 tahun silam. Kran kebebasan sudah terbuka lebar. Silahkan berimajinasi sesuai dengan impian. Dan impian saya adalah bagaimana anak istri bisa makan sehari tiga kali, itu saja,” kata teman saya, yang seorang wartawan kriminal dalam sebuah diskusi warung kopi.

Tapi menurut saya, sahut teman saya yang lain, bangsa kita belum sepenuhnya merdeka. “Kaum borjuis masih mengusai perekonomian di negeri tercinta. Budaya korupsi masih mengakar kuat di gedung-gedung parlemen, kaum buruh masih saja menjadi sapi perahan di zaman modern, pembunuhan warga yang protes terhadap sebuah ketidakadilan, masih saja dilakukan oleh aparat penegak hukum di negeri ini. Kondisi sekarang tak ubahnya pemerintahan di masa Orde Baru atau yang biasa disebut neolib. Apa ini yang dinamakan merdeka?”

Analisa teman saya yang bertubuh tinggi besar yang juga seorang jurnalis ini, berdasarkan beberapa kasus yang mewarnai penutup tahun 2011 lalu. Yaitu kasus Mesuji, Jembatan Sape di Bima, NTB dan kasus di Papua.

Selanjutnya, di pembuka tahun, di bulan Januari, tragedi demi tragedi masih berlanjut, pembunuhan tiga warga Jawa Timur di Aceh, bentrok warga dengan aparat di Palu, Sulawesi Tengah, pencurian sandal seorang anak SMA dan beberapa kasus korupsi yang masih hangat mewarnai halaman depan media massa. Termasuk cukong-cukong tanah yang dengan seenaknya menguasai lahan tanah yang bukan haknya.

Sudahlah, sergah teman saya yang apatis tadi. Menurut dia, yang juga mantan aktivis Pro Dem 98 itu, Jibril sudah selesai dengan tugasnya takala Muhammad menerima wahyu terakhir dari sang Pencipta. “Raqib dan Atit tanpa hentinya mencatat perbuatan baik dan buruk, Malik dan Ridwan merenung kapan penghuni sorga dan neraka datang. Sedangkan Israfil, sang peniup terompet sangkakala tetap menanti perintah. Mungkinkah di tahun 2012, tugas datang dari sang Khalik seperti yang digambarkan suku Maya di belahan Amerika Latin?”

Semua sudah selesai katanya. Muhammad sudah menerima Al Qur’an sebagai pandangan hidup dari Tuhan, Indonesia sudah merdeka, Orde Lama sudah tumbang. “Pun begitu dengan Orde Baru. Yang tersisa hanya sejarah. Semuanya menjadi kenangan masa lalu kita,” kata sohib saya tadi, yang masih dengan kalimat apatis.

Meski tanpa banyak bicara, pikiran saya kembali kebelakang. Ketika terompet tahun baru dikumandangkan di atas cakrawala Indonesia Raya beberapa hari yang lalu. Mirip sekali dengan sangkakala Isrofil: memekakkan telinga!

Saat itu, waktu menunjukan pukul 23.49, saya masih asyik menghisap rokok di beranda atas rumah. Sayup-sayup merdunya lantunan ayat-ayat suci dari mesjid, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah saya, diiringi dentuman suara petasan tiada henti. Irama yang merdu tersapu oleh derasnya nada mercon. “Beginikah arti sebuah pergantian tahun?” pikirku waktu itu. “Apakah mereka tak pernah memimpikan masa depan yang belum tentu sejahtera?”

Berharap keberkahan dan rahmat Tuhan di hari-hari mendatang, yang dipanjatkan pelantun kalimat-kalimat suci tadi, seolah tak membuat mereka (bagi kebanyakan orang yang mengadakan perpisahan tahun 2011 dan menyambut tahun 2012) bergeser dari keinginan membuat bermacam kegiatan yang --menurut sebagian mereka itu-- bermanfaat.

Masa depan yang menanti dengan gagah. Seolah tak peduli beringasnya “syahwat politik” seantero penjuru negeri, yang kelak bersaing menunjukkan kekuatan di Pemilu 2014. Lihat saja, Partai Kucing Belang Bentong asyik mempersiapkan diri. Partai Tong Tong Sot sibuk pasang wajah jeleknya.

Sementara deru mesin peradaban terus menggoda birahi sejumlah orang. Ya, biar terlihat modern, terlihat lebih cerdas dari kaum mapan, padahal terlihat tanpak “bodoh” dengan kemodernisasiannya itu.

Saya sendiri masih terus bermasturbasi dengan masa lalu, masa kin dan masa depan. Otak yang terus berimajinasi, seolah ingin meruntuhkan dinding klitoris keperawanan masa depan, hingga berteriak lantang: Akulah jiwa merdeka. Akan kutorehkan sejarah masa depan. Maka, selamat datang sorganya sorga.

Saya jadi teringat dengan petuah Saidina Ali r.a. Kholifah keempat, yang juga menantu baginda nabi ini, pernah berkata: “Barang siapa berjalan di belakang zaman, maka zaman akan meninggalkannya. Barang siapa berjalan beriringan dengan zaman, zaman akan mentertawakannya dan barang siapa berjalan mendahulu zaman, dialah sang pemenang, dialah sang pembaharu kehidupan.”

Sungguh luar biasa petuah ini. Soal perubahan, di masa kepemimpinan Soekarno, presiden pertama RI ini juga berteriak lantang: “Beri aku 10 pemuda, maka akan kerubah dunia.”

Selanjutnya, ketika para pejuang-pejuang telah menghantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, maka sesungguhnyalah, kita diminta untuk terus mengobarkan semangat pembaharuan demi masa depan dan cita-cita.

Sebagai generasi muda, sebagai agen of change, sudah sepatutnya kita memberi warna masa depan dengan penuh semangat, penuh kreativtas. Atau masihkah kita terjerembab dalam lubang “kebodohan.” Masihkah kita berfikir: Hari ini adalah hari ini, esok bagaimana besok.

Anggaplah, di tahun ini, kita tidak berserah diri pada Tuhan, tapi engkau bisa melakukan hal yang lebih baik dari pada membuang waktu percuma, minum minuman keras, berjudi dan zina bahkan mengganggu orang yang lagi beribadah di malam hari, dengan teriakan terompet dan petasan, melakukan pembunuhan karakter.

Mengutip istilahnya Karl Max: Pertarungan belum selesai! era “Mega Mechine” boleh menampakkan tarngnya. Tapi proses kreativitas jangan terhenti. Karena pada zaman “kemodalan” sekarang, pertentangan kasta makin tajam. Pertarungan antara kaum buruh yang terbanyak dan tertindas dengan kaum hartawan, yang terkecil, tetapi tetap terkaya dan terkuasa masih berjalan sengit. Sedang kita masih termangu atas segala keterbatasan. Maka bertarunglah wahai kaum muda!

Andriansyah Rachman Syafi'i
Wartawan di Surabaya
Alumni Stikosa AWS

1 comments:

Ya, perjuangan memang belum selesai..

Post a Comment