January 24, 2012

Kuliah di Community College

Sejak lulus dari kampus Stikosa AWS tahun 1996, aku tak pernah berfikir bakal melanjutkan sekolah lagi. Karena memang tujuan kuliah waktu itu biar cepet dapat kerja dan mengambil ‘tongkat’ estafet orang tua untuk membiayai 3 dari 5 orang adikku menyeselesaikan pendidikan sama dengan aku. Jadi waktu memulai karir di dunia radio sebelum lulus dan sampai lulus, aku masih tidak tertarik untuk ‘berinvestasi’ ilmu lagi. Termasuk waktu aku ‘kesasar’ di negeri Paman Sam ini.

Tapi yang namanya nasib emang gak ada yang tahu. Enam tahun kerja ‘blue collar’ sebagai cleaning lady merangkap nanny, harus aku tinggalkan setelah bertemu suamiku yang orang Amerika keturunan Scotlandia dan punya sedikit darah Indian native American. Menurut Dave suamiku, aku ini kerja jadi kuli karena gak punya kesempatan untuk kerja kantoran. Dari segi kemampuan otak menurut Dave, aku ini gak bodoh-bodoh sekali. Dari segi financial, Dave bilang dia juga gak kekurangan untuk ‘menginvestasikan’ aku.

Singkat cerita, aku daftar di community college. Cerita sedikit soal community college. Ini adalah kampus local yang 60% biayanya ditanggung oleh warga sebuah county (setingkat kecematan) lewat property tax (PBB), 30% dibantu pemerintah pusat, dan sisanya oleh mahasiswa. Makanya tak heran kalo biaya per sks nya tergolong murah untuk ukuran tingkat pendidikan tinggi. Hampir di setiap county punya community college. Dan enak nya lagi, biarpun tingkat pendidikan nya hanya sampai setingkat D3 (Associate degree), tapi bisa transfer ke college lain bagi yang ingin melengkapi pendidikan nya sampai S1 (bachelor) dengan menambah mata kuliah yang dibutuhkan.

Karena tujuan ku back to school untuk cari kerja kantoran di negerai paman sam ini, aku ambil jurusan accounting. Karena rasanya agak susah untuk melanjutkan jurusan komunikasi karena kendala bahasa. Aku cukup tahu diri, peluangku agak susah untuk bersaing di dunia komunikasi dengan native speaker. Karena itu aku gak peduli dengan transkrip nilai yang dikeluarkan kampus. Karena aku tahu gak akan banyak mata kuliah yang diambil karena jurusan yang beda jauh, and besides, it takes a lot of money.

Tapi Dave ngotot minta aku menjalani semua proses biar nilaiku selama kuliah di kampus tercinta bisa di akreditasi juga. Dia bilang, it is a good investment ! On top of that, it’s his money. :D. Untuk keperluan akreditasi ini, ada badan nya sendiri. Tapi yang paling murah dan paling terkenal namanya WES (World Education Service). Biayanya waktu itu $225. Persyaratan yang harus aku penuhi, transkrip nilai ama ijazah bahasa asli dan tentu saja terjemahannya. Untuk ijazah, aku boleh mengirimkan foto kopinya. Tapi untuk transkrip nilai, mereka minta yang dikirim langsung dari kampus.

Alasan nya masuk akal sih, supaya nilai-nilai itu tidak di’alter’ alias dibikin bagus. Total uang yang harus aku keluarkan untuk keperluan akreditasi itu sekitar $400, karena aku juga harus bayar untuk terjemahan (Aku pakai jasa consulate Indonesia di NYC) dan biaya kirim dari kampus ke kantor WES yang aku tanggung sendiri. Hasi evaluasi WES langsung dikirim ke kampus dan aku minta copy yang dikirim ke rumah. Dan benar saja dugaanku, dari 144 sks yang sudah aku tempuh, hanya 12 sks saja yang bisa diambil untuk jurusan ku sekarang.

Tapi hikmah dibalik itu, ternyata aku eligible untuk melanjutkan ke S2. Apalagi dari hasil evaluasi itu, GPA (IP) ku jadi bisa lebih tinggi dibanding yang dikeluarkan kampus. Sayangnya keadaan finansial aku dan suami gak mampu untuk ngambil S2. Mau minta bantuan pemerintah, gaji suami tergolong tinggi, mau cari scholarship, nilaiku belum mencukupi. Jadi aku kembali ke tujuan pertama back to school, yaitu biar bisa kerja kantoran.

Sampai aku bikin tulisan ini, aku dah menyelesaikan 9 SKS (belum termasuk hasil dari kampus). Kalo rencanaku lancar, sekitar Mei waktu spring semester selesai, aku bisa ambil test certificate untuk modal cari kerja.

Catatan : Maya Mandley*)
Alumnus Stikosa AWS, kini tinggal di Amerika

0 comments:

Post a Comment