January 9, 2012

Komplek

“Koran-koran!” teriakan seorang penjual koran memecah suasana pagi. “Seorang oknum tentara tewas di lokalisasi!” teriaknya lagi. Orang-orang segera membeli koran yang ditawarkannya. Mereka ingin tahu kejadian sore kemarin. Katanya seorang tentara menjadi korban penusukan oleh orang tak dikenal. Tapi cerita yang beredar dari mulut ke mulut selalu saja tidak jelas. Apalagi dibumbui oleh minuman keras dan gaduhnya musik dangdut. Dan sebenarnya orang-orang tidak benar-benar peduli, mereka asyik saja dengan kegiatan memanjakan syahwat semalaman.

Hari baru saja mulai. Matahari masih terlihat redup setelah semalam menghilang. Sinarnya belum begitu garang. Sementara bulan masih terlihat di langit yang mulai terang. Semakin lama semakin kabur dari pandangan. Setelah menjadi saksi dari pesta-pesta tak terencana di sebuah lokalisasi.

Satu dua warung yang tak pernah tutup masih saja terlihat ramai. Seorang lelaki duduk di sudut sebuah warung kopi. Matanya menerawang jauh. Seakan ingin mengarungi jarak sampai batasnya. Meski suara bising berhamburan di sekitarnya, dia tetap tidak peduli. Perjalanannya belum sampai. Entah berapa lama lagi dia akan bergeming dari sikap seperti itu.

Lelaki itu masih muda. Kumis dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang. Pakaiannya bersih tapi lecek. Mungkin habis dipakai tidur. Ya. Matanya masih agak merah. Mukanya agak berminyak. Ya. Mungkin saja dia baru bangun dari tidurnya.

Sebatang rokok terjepit di sela-sela jari-jari tangannya. Secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas terletak di meja, di depan lelaki itu. Disekitarnya beberapa orang tampak asyik ngobrol dengan suara bising. Laki-laki itu masih seperti tadi.

Warung di pinggri jalan itu semakin ramai saja. Jalanan sudah penuh orang lalu-lalang. Kendaraan meraung mengepulkan asap. Udara pengap. Suara-suara umpatan terdengar bersautan. Kawasan pelacuran itu mulai terbangun dari mimpi indahnya. Setelah semalam bergulat dengan minuman keras, peluh dan kenikmatan. Kemudian terlelap dalam kelelahan.

Ya, mimpi indah itu tujuan setiap orang. Hanya saja cara mereka bermimpi yang berbeda. Mimpi tentang kenikmatan memang dambaan semua orang. Tidak ada orang yang menginginkan mimpi buruk. Bahkan keadaan yang paling buruk dari hasil perbuatan pun masih menjadi mimpi indah bagi yang menginginkannya.

Laki-laki muda itu menghela napas panjang. Mungkin dadanya sesak oleh asap rokok dan juga asap kendaraan yang begitu saja masuk ke dalam paru-parunya. Udara kotor itu semena-mena menerobos lubang hidungnya, tanpa mampu dibendung. Mungkin juga karena kotornya pikiran yang menjejali otaknya. Dadanya terasa sesak. Bagai dibebani batu berkilo-kilo.

Setiap orang punya permasalahannya sendiri-sendiri. Juga jalan pemecahan sendiri-sendiri. Kita semua sama, milik permasalahan. Yang berbeda hanya jalan keluarnya saja. Tergantung bagaimana menyikapinya. Mungkin laki-laki itu punya masalah.
Mungkin istrinya selingkuh dengan teman dekatnya atau tetangganya. Atau dia belum kawin dan pusing memikirkan kekasihnya yang minta kawin. Atau kekasihnya hamil dan menuntut untuk dikawini. Sementara dia tidak punya pekerjaan. Atau dia sedang memikirkan dirinya sendiri yang tidak punya pekerjaan. Sementara ijasahnya menunjukkan huruf S-1, Sarjana Sosial, atau Sarjana Teknik atau sarjana yang lain.

Ya, kita tahu, berjuta sarjana tercetak setiap tahunnya. Yang mendapat kesempatan hanya beberapa. Negeri ini terdapat hampir 40 juta penganggur. Setiap hari mereka butuh makan, atau memberi makan atau jalan-jalan juga tempat tinggal. Mana bisa kalau tak punya pekerjaan. Jangan ngomong kesejahteraan di negeri yang sedang miskin dan mau bangkrut seperti ini. Kesejahteraan itu menjadi mimpi panjang yang tak pernah usai.

Atau dia sedang memikirkan rumahnya yang digusur. Atau daganganya bangkrut. Atau dia memikirkan kontrakannya yang naik ongkosnya. Atau dia sedang menghadapi siluman penarik pungutan yang tak jelas.

Melihat tongkrongannya, mungkin dia seorang sarjana. Dari sorot matanya tergambar pandangan yang bersinar. Tapi kali ini sedikit sayu, mungkin karena baru bangun dari tidurnya. Atau mabuk barangkali.

Mengapa sepagi itu dia sudah berada di warung dalam komplek pelacuran ini. Dengan pakaian kumal, mata merah dan raut wajahnya rusuh. Mungkin semalam dia menumpahkan segala kerusuhan hatinya di komplek kenikmatan ini. Atau entahlah….Banyak orang yang tidak peduli. Mungkin pemandangan seperti ini sudah terlalu biasa sehingga tidak ada orang yang memperhatiakannya. Apalagi memikirkan masalahnya.

Setiap orang hidup dengan dirinya sendiri. Bergulat dengan permasalahannya sendiri. Tidak ada yang peduli dengan permasalahan orang. Tambah repot! Bahkan bisa jadi ikut kena masalah. Buat apa ngurusi permasalahan orang. Di komplek ini perkenalan hanya sesaat. Setelah itu lupa. Buat apa terlalu banyak tahu. Pusing!

Tiba-tiba lelaki muda itu bergerak dari posisinya. Sekarang dia melihat sekeliling seakan mencari sesuatu. Atau dia merasa sedang diperhatikan. Sebentar-sebenatar dia hirup kopi panas di depannya. Sambil sesekali melihat sekelilingnya. Rokok di tanganya semakin pendek saja. Dengan gerakan menjentik puntung rokok itu telah terlempar jauh ke tengah jalan, terlindas roda mobil yang sedang lewat pelan-pelan.
Setelah menghirup kopi untuk yang terakhir dia segera bangkit dari duduknya. Orang-orang mengikuti gerakannya dengan sudut mata mereka. Hanya sebentar setelah itu tidak berbekas sama sekali. Mungkin mereka tidak mengenalnya. Atau tidak menganggapnya penting. Biasa.

Ukuran tubuhnya rata-rata, tidak tinggi dan tidak pendek. Tidak gemuk dan tidak kurus. Mungkin karena itu dia tidak terlalu banyak menarik perhatian. Rambutnya pendek rapi. Penampilannya biasa saja. Tidak ada yang mencolok.

Bergegas dia berjalan menyusuri lorong-lorong sempit. Sesekali berpapasan dengan perempuan-perempuan penghuni komplek yang hendak sarapan atau sekedar membeli kopi atau rokok di warung. Dari kejauhan terlihat mereka saling menyapa. Meski hanya sekedar senyuman. Kemudian segera melanjutkan perjalanan masing-masing.

Mungkin hanya iseng saja. Mereka saling menyapa karena berpapasan di jalan sempit. Atau mereka saling menggoda. Atau mereka mungkin memang saling kenal. Entahlah. Hanya dia yang tahu.

Beberapa anak kecil berlarian di lorong sempit itu. Hampir saja mereka menabrak lelaki muda itu. Dengan sigap lelaki itu menghindarinya. Anak-anak itu tidak peduli. Mereka tetap asik berkejaran sambil berteriak-teriak.

“Dasar lonthe! Kowe sudah aku kasih tau, jangan gendhakan dengan dia. Dia itu hanya mau ‘main’ gratis sama kamu. Kamu dijeratnya dengan cinta. Kalau kamu main sama dia terus kamu gak dapat duwit, aku yang rugi!”

“Tapi, Mi..”

“Wis, gak tapi-tapian. Pokoknya jangan sebentar-sebentar dia ke sini. Kasih tau!”

“Ya…”

Dari sebuah rumah terdengar suara gaduh. Rupanya ada seorang pelacur yang sedang kena marah germonya. Germonya cemburu karena piaraannya hanya mengutamakan pacarnya saja. Ya, cinta memang merugikan. Terutama bagi mereka yang berdagang cinta. Terutama kerugian bagi germonya.

Lelaki muda itu hanya berhenti sebentar. Mungkin ingin mendengarkan saja. Hanya sebentar, kemudian dia kembali berjalan. Menyusuri jalan-jalan sempit di antara rumah-rumah bordil yang berbaur dengan rumah-rumah biasa yang bukan tempat berjualan kenikmatan. Kalau dia mendengar suara yang agak keras dari dalam rumah, dia akan berhenti sebentar untuk sekedar mendengar.

Matahari semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menyakitkan kulit. Membuat kulit gosong jika terpanggang lama-lama. Asap kendaraan semakin padat saja, bagaikan kabut menyesakkan udara. Laki-laki itu keluar dari lorong sempit yang melingkar-lingkar. Dia bergegas menghindari panggangan sinar matahari. Di sebuah masjid kecil dia berbelok kemudian hilang. Mungkin di kamar mandi atau entah ke mana.

Esoknya, pagi sekali. Laki-laki muda itu sudah terlihat duduk di warung kopi yang kemarin. Sikapnya sama. Pandangannya menerawang jauh sekan hendak menembus gugusan rumah-rumah di kampung itu. Di depannya secangkir kopi mengepulkan uap panas dengan aroma khas yang mampu merangsang syaraf-syaraf untuk bergairah. Dari bibirnya tersembur asap dari rokok yang sejak tadi dihisap dan dihembuskannya.

Pagi mulai terbangun. Orang-orang mulai turun dari peraduannya. Para lelaki yang memburu kenikmatan mulai bergegas menjauhi komplek pelacuran itu. Mumpung belum siang benar. Semalam sudah cukup. Sekarang waktunya pulang kembali ke istri masing-masing. Atau bekerja di kantor. Padahal sudah dua hari tidak pulang. Alasannya selalu sama dan terus diulang.

Istri mereka di rumah menunggu dengan sabar. Ada juga yang menunggu suami mereka dengan orang lain. Daripada kesepian lebih baik ada orang lain di kamar. Nah, begitulah balasannya. Begitulah, semua orang punya cara mengatasi kesepian dan mendatangkan kenikmatan dan keindahan. Manusia memang bisa menjadi makhluk yang paling palsu dari semua makhluk.

Laki-laki muda itu masih tetap seperti semula. Gerakan-gerakannya selalu sama. Menghirup kopi dan menghisap rokoknya bergantian. Sampai keduanya habis. Kemudian sebentar-sebentar memandang berkeliling. Menyapu pintu-pintu rumah bordil yang terbuka. Tampak beberapa perempuan asik ngobrol dengan sesamanya. Ada juga yang duduk-duduk di teras sambil sarapan. Ada juga yang hanya merokok di ruang tamu sambil melamun. Mungkin semalam dia benar-benar merasakan nikmat. Sehingga dia terus membayangkan mempunyai pacar seperti tamunya semalam. Tiba-tiba senyuman tipis menghiasi bibirnya. Agaknya dia tersipu sendiri ketika menyadari bahwa lamunannya tak ubahnya mimpi yang akan hilang ketika terbangun dari tidur.

“Apakah adik mencari seseorang di sini?” penunggu warung kopi itu bertanya.
“Ya, saya mencari seorang teman.” Jawab lelaki muda itu. Kemudian pandangannya kembali menelusuri lingkungan kompleks itu. Kadang-kadang bangkit dari duduknya dan menatap tajam suatu tempat.

Tiba-tiba dia bergegas berdeiri, merogoh kantong dan membayar harga minuman dan sebungkus rokok yang telah dihabiskannya. Kemudian tergesa-gesa berjalan menuju suatu tempat. Orang-orang hanya memperhatikannya sekilas saja. penjual kopi itu memperhatikannya agak lama. Tapi perhatiannya terenggut ketika ada seorang laki-laki setengah baya memesan minuman. Lelaki muda itu telah lenyap dari pandangan entah kemana.

Di sebuah lorong sempit lelaki muda itu berhenti. Tepat di samping pintu belakang sebuah rumah. Dia berdiri saja di situ sambil merokok. Sebentar-sebentar di menoleh ke kanan ke kiri. Seperti sedang mengawasi. Terdengar ketukan halus di pintu.
“Siap?” Laki-laki muda itu berkata lirih.

“Ya.” Sahut suara halus seorang perempuan.

“Bukalah.”

Terdengar suara kunci di putar. Pintu itu terbuka sedikit. Seraut wajah tergambar di celah-celah. Nampak bayangan ketakutan di wajahnya.

“Cepat mumpung masih pagi.” Laki-laki muda itu berkata dengan nada di tekan.

“Aku…”

“Bawa semua yang bisa kau bawa.”

“Aku su…su…sudah siap.” Sahut perempuan itu tergagap.

Pintu terbuka semakin lebar. Perempuan itu keluar sambil mengendap-endap. Dengan sigap lelaki muda itu meraih tangannya. Barang bawaan perempuan itu telah berpindah tangan. Dengan langkah lebar lelaki muda itu menggandeng perempuan yang keluar dari sebuah rumah pelacuran itu. Perempuan itu berlari-lari kecil mengikuti langkah lelaki muda itu.

“Hoii, mau kemana!” teriak seorang lelaki bertubuh gempal yang kebetulan lewat gang itu. “He…balon mau kemana kau!” Lelaki penjaga itu berteriak-teriak sambil berlari mengejarnya. Laki-laki dan perempuan itu semakin cepat berlari melintasi gang yang berkelok-kelok seperti labirin. Sesekali menabrak orang yang lalu-lalang. “Jancok! Matane picek!” Orang itu mengumpat. Sementara yang lain hanya melihat saja. Hanya memandang tiga orang yang kejar mengejar itu.. Kemudian berjalan kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka juga tidak mau tahu ada masalah apa. Karena setiap orang punya persoalannya masing-masing.

“Koran-koran,” seorang penjaja koran berteriak sambil mengendarai sepeda.

Agung Purwantara
Pegiat sastra di Surabaya,
Alumni Stikosa AWS

1 comments:

Agung pancene TOV MARKOTOV..............

Post a Comment