December 31, 2011

Secercah Asa Pedagang PKL Keputran

Sekitar pukul 15.00 WIB suasana Pasar Keputran menunjukkan geliatnya yang semakin ramai. Gemericik suara hujan pun tidak mengurangi aktivitas jual beli di salah satu pasar induk tertua di Surabaya itu. Maklum saja, sore itu semua barang dagangan datang seperti sayur mayur dan ikan segar. Barang dagangan tersebut kebanyakan dipasok dari luar kota seperti Sidoarjo, Mojokerto, Lumajang bahkan Malang.
Setelah mengalami penggusuran setahun tahun yang lalu, pedagang PKL Pasar Keputran kembali berjualan di lapak-lapak sepanjang trotoar jalan raya Kayoon dan Keputran. Tentu hal ini sangat menganggu kenyamanan, kebersihan, keindahan tata kota, lebih-lebih pengendara kendaraan yang akan melintasi kawasan tersebut.

Menurut PERDA berjualan di sepanjang trotoar jalan raya jelas dilarang. Tetapi tidak demikian dengan para pedagang PKL Pasar Keputran Surabaya. Mereka yang kebanyakan orang Madura ini, nekad berjualan di sepanjang trotoar, tanpa mengindahkan peraturan yang ada. Hal tersebut diamini oleh Joko, pedagang sayur mayur yang sudah 5 tahun berjualan di pasar Keputran ini.

Pria yang dulunya pernah bekerja sebagai karyawan di Pabrik rokok tersebut mengaku bahwa memang berjualan di trotoar dilarang tetapi tidak ada pilihan lain. Karena jika berjualan di area dalam pasar sewa lapaknya mahal. “ Untuk sewa lapaknya mahal mas, sebulan sekitar 200 ribu, tidak cukup dengan penghasilan yang diperoleh , ” ungkap pria yang memiliki 3 orang anak ini.

Usaha relokasi pedagang PKL juga telah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya. Tempat yang dijadikan sebagai relokasi adalah Pasar Induk Oso Wilangun dan Pasar Jemundo Kletek. Benar saja, hal ini kurang menguntungkan bagi pedagang sebab lokasi Pasar yang dijadikan tempat relokasi letaknya sangat jauh dan kurang strategis. “ Pernah di relokasi di Pasar Jemundo, letaknya jauh sekitar 4 km dari jalan raya dan lokasi pasarnya kurang strategis. Jadi gairah jual beli sangat menurun tidak seperti saat saya berjualan di pasar Keputran ,” kata pria yang pernah menjadi TKI di Malaysia selama setahun ini.

“ Sebenarnya isu penggusuran itu sudah lama, tapi gimana lagi tempat relokasinya tidak strategis. Jadi saya kembali lagi kesini ,” Papar pria yang bertempat tinggal di Sidoarjo itu. Menurutnya setelah kembali lagi berdagang di Pasar Keputran kondisinya tidak seramai dulu. “ Sekarang penjualan sepi, apalagi kalau cuacanya hujan seperti ini ,” urainya. “ Para pembeli juga terpecah, kalau dulu sebagian besar dari pedagang belanja di sini karena pasar ini adalah pasar induk. Kalau sekarang berbeda, misalnya pedagang yang ada disekitar Margorejo dan sekitarnya belanjanya di Pasar Besar Margorejo tidak di Keputran lagi, ” tambahnya dengan wajah bersedih.

Selain itu, Joko juga harus membayar uang iuran kebersihan sebesar 10 ribu rupiah. Jika barang dagangannya laku terjual habis, pria yang pernah berprofesi sebagai karyawan di perusahaan swasta di Sidoarjo tersebut mengaku bahwa rata-rata bersih laba yang diperolehnya sebesar 50 ribu sampai 100 ribu rupiah. Hal tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan modal untuk membeli sayur mayur tersebut yang mencapai 2 juta hinga 3 juta sekali berbelanja.

Sementara itu, Ngatinem (72) mengaku bahwa dia juga pernah merasakan saat gusuran Pedagang PKL Pasar Keputran itu berlangsung. “ Waktu digusur dan diobrak oleh SATPOL PP, saya pasrah mas. Lha wong ini tanah pemerintah kok, bukan untuk fasilitas umum yang digunakan sebagai tempat jualan, ” ujar perempuan yang juga membantu cucunya berjualan itu.

Wanita yang bertempat tinggal di perkampungan sekitar pasar Keputran ini, berprinsip tidak mau kalah dengan orang Madura yang mayoritas menjadi pedagang di pasar ini. “ Saya nggak mau kalah dengan pedagang Madura itu. Orang sama-sama cari makannya harus bersaing secara sehat. ” tuturnya dengan penuh semangat.
Setiap bulannya, Nenek dengan 14 cucu tersebut mengaku bisa menyisihkan uang sebesar 50 ribu dari hasil jualannya. “ Dalam sebulan bisa atau tidak bisa saya harus menabung walaupun cuma 50 ribu saja, ” katanya.

Ketika ditanya bagaimana jika ada penggusuran lagi, wanita yang sudah 8 tahun berjualan itu mengaku bahwa dia sudah siap dengan segala resikonya. “ Saya sudah siap, jika sewaktu-waktu ada gusuran lagi. Syukur-syukur dapat ganti rugi dari pemkot, jika tidak saya akan pulang ke kampung halaman di Malang , ”tutupnya dengan mata berkaca-kaca.(WILLIARTO/10.11.3595/JURNALISTIK)

0 comments:

Post a Comment