December 30, 2011

DIBALIK ISU PEMALAKAN PASAR KEPUTRAN

Selain eksistensinya sebagai para pedagang pasar induk Keputran yang masih dipertanyakan akibat isu penggusuran, ternyata semakin menambah cobaan mereka untuk mencari penghidupan disini. Mereka dihadapkan realita tentang adanya pungutan sebesar Rp. 10.000 per hari.

Ramenya fenomena penarikan uang sejumlah Rp 10.000 per hari sempat membuat reporter curiga akan adanya skenario antara satpol-PP dan para penagih. Bagaimana tidak, menurut ibu penjual cabe yang tidak ingin disebutkan namanya ini berpendapat bahwa penarikan uang sejumlah itu jelas membuat berat para pedagang, khususnya mereka yang menempati lapak buatan sendiri diluar gedung pasar Keputran. Seandainya sehari bisa mendapatkan keuntungan sejumlah Rp. 30.000 per hari maka bisa dikatakan bahwa ia hanya membawa keuntungan Rp. 20.000 saja.

Menurut Husni, seorang pedagang timun yang telah berjualan diKeputran selama 12 tahun ini, bahwa untuk mengantisipasi gusuran dari Pemerintah Kota, ia telah membeli lapak diOsowilangon, Gresik. Bisa dikatakan bahwa tempat pengganti yang ada disana ternyata masih belum bisa dikatakan sebaik yang ada dipasar Keputran.

Pasalnya, karena pasar Osowilangon masih terbilang baru maka sudah bisa dipastikan kalau barang dagangannya banyak yang tersisa hingga membusuk. Memang, menurut pria yang beraksen Madura ini, pihak management pasar Osowilangon sangat baik dalam memberikan pelayanan dan fasilitas bagi pedagang, terlebih keamanan. Namun apa mau dikata, kalau kondisi Osowilangon tak seramai Keputran, untuk apa ia harus berpindah kesana.

Lain lagi dengan Munasir, seorang pedagang tomat dari Jombang yang telah menempati pasar Keputran selama dua belas tahun ini berpendapat bahwa penarikan uang oleh beberapa petugas tidaklah memberatkannya. Meskipun memang sebelumnya dia sempat memiliki stand di dalam, namun karena adanya masalah dengan anak buahnya ia harus merelakan standnya yang dulu untuk berpindah kelapak luarnya.

Keputran, warga Surabaya banyak sudah yang telah mengenal nama pasar ini. Pasar yang telah meningalkan banyak kisah ini telah menorehkan banyak kisah dan telah menjadi saksi sejarah kehidupan perekonomian Surabaya dari masa kemasa. Dari sebelum kita mengenal istilah kemerdekaan hingga merampungkan masa kemerdekaan ini. Siapa sangka kalau ternyata kampung keputran telah ada sejak zaman kerajaan Surabaya atau lebih tepatnya pada tahun 1293M silam.

Dahulunya, Keputran merupakan tempat kediaman para selir dan putri raja yang masih lajang. Namun seiring berjalannya waktu, tempat ini beralih fungsi menjadi pasar tradisional. Sebagai sebuah pasar tradisional, pasar ini bisa disebut sebagai pasar sentral Surabaya. Sentral bagi penentuan harga bagi pasar induk lainnya, seperti pasar Osowilangun dan pasar tradisional lainnya diSurabaya. (Fajrul Hanif/Jurnalistik/10.11.3566)

1 comments:

Masih soal tanda baca. Rp 10 ribu, bukan Rp 10.000,-. Data pemalakan juga tak terlalu muncul secara maksimal. Eman..

Post a Comment