Selalu Pengingkaran dan Pengingkaran

Jum'at (11/11/2011), Forpro AWS telah bersepakat dengan yayasan yang diwakili Tjuk Suwarsono (sekretaris) tentang langkah awal perubahan. Katanya, dalam tempo tujuh hari yayasan akan merealisasikan pergantian Ketua Harian YPWJ dari Dhimam Abror diganti Sapto Anggoro. Hasilnya?

Hanya Satu Kata : Lawan!

Bagi mahasiswa dan alumni Stikosa AWS, kebohongan yang dilakukan yayasan merupakan dosa sosial yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Upaya dialog selalu gagal. Kesepakatan selalu mereka langgar...

Belajar Pada Para Penggagas Ide Mulia

A. Azis dan Toety Azis. Keduanya berperan besar pada proses berdirinya Stikosa. Banyak cita-cita mulia, semangat, dan kebiasaan untuk tak banyak bicara tapi kerja nyata.

January 24, 2012

Kuliah di Community College

Sejak lulus dari kampus Stikosa AWS tahun 1996, aku tak pernah berfikir bakal melanjutkan sekolah lagi. Karena memang tujuan kuliah waktu itu biar cepet dapat kerja dan mengambil ‘tongkat’ estafet orang tua untuk membiayai 3 dari 5 orang adikku menyeselesaikan pendidikan sama dengan aku. Jadi waktu memulai karir di dunia radio sebelum lulus dan sampai lulus, aku masih tidak tertarik untuk ‘berinvestasi’ ilmu lagi. Termasuk waktu aku ‘kesasar’ di negeri Paman Sam ini.

Tapi yang namanya nasib emang gak ada yang tahu. Enam tahun kerja ‘blue collar’ sebagai cleaning lady merangkap nanny, harus aku tinggalkan setelah bertemu suamiku yang orang Amerika keturunan Scotlandia dan punya sedikit darah Indian native American. Menurut Dave suamiku, aku ini kerja jadi kuli karena gak punya kesempatan untuk kerja kantoran. Dari segi kemampuan otak menurut Dave, aku ini gak bodoh-bodoh sekali. Dari segi financial, Dave bilang dia juga gak kekurangan untuk ‘menginvestasikan’ aku.

Singkat cerita, aku daftar di community college. Cerita sedikit soal community college. Ini adalah kampus local yang 60% biayanya ditanggung oleh warga sebuah county (setingkat kecematan) lewat property tax (PBB), 30% dibantu pemerintah pusat, dan sisanya oleh mahasiswa. Makanya tak heran kalo biaya per sks nya tergolong murah untuk ukuran tingkat pendidikan tinggi. Hampir di setiap county punya community college. Dan enak nya lagi, biarpun tingkat pendidikan nya hanya sampai setingkat D3 (Associate degree), tapi bisa transfer ke college lain bagi yang ingin melengkapi pendidikan nya sampai S1 (bachelor) dengan menambah mata kuliah yang dibutuhkan.

Karena tujuan ku back to school untuk cari kerja kantoran di negerai paman sam ini, aku ambil jurusan accounting. Karena rasanya agak susah untuk melanjutkan jurusan komunikasi karena kendala bahasa. Aku cukup tahu diri, peluangku agak susah untuk bersaing di dunia komunikasi dengan native speaker. Karena itu aku gak peduli dengan transkrip nilai yang dikeluarkan kampus. Karena aku tahu gak akan banyak mata kuliah yang diambil karena jurusan yang beda jauh, and besides, it takes a lot of money.

Tapi Dave ngotot minta aku menjalani semua proses biar nilaiku selama kuliah di kampus tercinta bisa di akreditasi juga. Dia bilang, it is a good investment ! On top of that, it’s his money. :D. Untuk keperluan akreditasi ini, ada badan nya sendiri. Tapi yang paling murah dan paling terkenal namanya WES (World Education Service). Biayanya waktu itu $225. Persyaratan yang harus aku penuhi, transkrip nilai ama ijazah bahasa asli dan tentu saja terjemahannya. Untuk ijazah, aku boleh mengirimkan foto kopinya. Tapi untuk transkrip nilai, mereka minta yang dikirim langsung dari kampus.

Alasan nya masuk akal sih, supaya nilai-nilai itu tidak di’alter’ alias dibikin bagus. Total uang yang harus aku keluarkan untuk keperluan akreditasi itu sekitar $400, karena aku juga harus bayar untuk terjemahan (Aku pakai jasa consulate Indonesia di NYC) dan biaya kirim dari kampus ke kantor WES yang aku tanggung sendiri. Hasi evaluasi WES langsung dikirim ke kampus dan aku minta copy yang dikirim ke rumah. Dan benar saja dugaanku, dari 144 sks yang sudah aku tempuh, hanya 12 sks saja yang bisa diambil untuk jurusan ku sekarang.

Tapi hikmah dibalik itu, ternyata aku eligible untuk melanjutkan ke S2. Apalagi dari hasil evaluasi itu, GPA (IP) ku jadi bisa lebih tinggi dibanding yang dikeluarkan kampus. Sayangnya keadaan finansial aku dan suami gak mampu untuk ngambil S2. Mau minta bantuan pemerintah, gaji suami tergolong tinggi, mau cari scholarship, nilaiku belum mencukupi. Jadi aku kembali ke tujuan pertama back to school, yaitu biar bisa kerja kantoran.

Sampai aku bikin tulisan ini, aku dah menyelesaikan 9 SKS (belum termasuk hasil dari kampus). Kalo rencanaku lancar, sekitar Mei waktu spring semester selesai, aku bisa ambil test certificate untuk modal cari kerja.

Catatan : Maya Mandley*)
Alumnus Stikosa AWS, kini tinggal di Amerika

January 17, 2012

Orgasme Syahwat Peradaban

“Kita adalah genarasi gagap yang diperanakkan angkatan pengecut,” inilah sekelumit sajak WS Rendra yang menggambarkan kondisi generasi muda di masa depan.

TAPI ya sudahlah. toh saya juga tak ingin membicarakan sajak-sajak almarhum WS Rendra itu. Saya hanya ingin mencoba membayangkan kondisi generasi muda di masa depan, kondisi di tahun 2012 ini. Bahkan, untuk tahun-tahun berkutnya, terlebih kita masih merasakan euvora tahun baru hingga di pertengahan bulan Januari ini.

Menyinggung soal masa depan, khusunya bagi seorang anak muda, kalau boleh saya mengutip sedikt saja pemikiran Tan Malaka. Agar otak kita sedikit terangsang oleh ‘syahwat’ keorganisasian.

Dalam buku: “Semangat Muda,” yang pernah ditulis Tan Malaka sekitar bulan Januari 1926 di Tokyo, sang Maestro seolah ingin menegaskan, semangat anak muda itu: “Bagaimana menjalankan organisasi revolusioner sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu, yaitu dengan menggandeng perjuangan politik (nasional), dengan perjuanagan ekonomi (kelas), dengan menyatukan perjuangan pembebasan nasional dengan perjuangan pembebasan kelas buruh.”

Pada kalimat yang heroik ini, Tan Malaka ingin menata program nasional yang mengikutsertakan kaum borjuis kecil dan kaum tani Indonesia, yang notabene saat itu jumlahnya lebih besar dari pada kaum buruh. Sementara kaum buruh bertindak sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan.

Naskah ini juga sangatlah relevan sebagai pelajaran sejarah bagi gerakan di Indonesia saat ini, gerakan anti-imperialis (anti modal asing) harus disatukan dengan gerakan pembebasan buruh dan kaum tani sebagai sebuah kelas.

Gerakan nasional dan gerakan kelas tidak boleh dilihat sebagai dua tahap yang terpisah, tetapi sebagai satu kesatuan. Ini benar untuk Indonesia di era 1926 dan terlebih benar untuk Indonesia saat ini.

“Ah terlalu berat kalau kita memikirkan konsep Tan Malaka itu saat ini. Indonesia sudah merdeka bung, bangunlah dari mimpi. Reformasi sudah didengungkan 14 tahun silam. Kran kebebasan sudah terbuka lebar. Silahkan berimajinasi sesuai dengan impian. Dan impian saya adalah bagaimana anak istri bisa makan sehari tiga kali, itu saja,” kata teman saya, yang seorang wartawan kriminal dalam sebuah diskusi warung kopi.

Tapi menurut saya, sahut teman saya yang lain, bangsa kita belum sepenuhnya merdeka. “Kaum borjuis masih mengusai perekonomian di negeri tercinta. Budaya korupsi masih mengakar kuat di gedung-gedung parlemen, kaum buruh masih saja menjadi sapi perahan di zaman modern, pembunuhan warga yang protes terhadap sebuah ketidakadilan, masih saja dilakukan oleh aparat penegak hukum di negeri ini. Kondisi sekarang tak ubahnya pemerintahan di masa Orde Baru atau yang biasa disebut neolib. Apa ini yang dinamakan merdeka?”

Analisa teman saya yang bertubuh tinggi besar yang juga seorang jurnalis ini, berdasarkan beberapa kasus yang mewarnai penutup tahun 2011 lalu. Yaitu kasus Mesuji, Jembatan Sape di Bima, NTB dan kasus di Papua.

Selanjutnya, di pembuka tahun, di bulan Januari, tragedi demi tragedi masih berlanjut, pembunuhan tiga warga Jawa Timur di Aceh, bentrok warga dengan aparat di Palu, Sulawesi Tengah, pencurian sandal seorang anak SMA dan beberapa kasus korupsi yang masih hangat mewarnai halaman depan media massa. Termasuk cukong-cukong tanah yang dengan seenaknya menguasai lahan tanah yang bukan haknya.

Sudahlah, sergah teman saya yang apatis tadi. Menurut dia, yang juga mantan aktivis Pro Dem 98 itu, Jibril sudah selesai dengan tugasnya takala Muhammad menerima wahyu terakhir dari sang Pencipta. “Raqib dan Atit tanpa hentinya mencatat perbuatan baik dan buruk, Malik dan Ridwan merenung kapan penghuni sorga dan neraka datang. Sedangkan Israfil, sang peniup terompet sangkakala tetap menanti perintah. Mungkinkah di tahun 2012, tugas datang dari sang Khalik seperti yang digambarkan suku Maya di belahan Amerika Latin?”

Semua sudah selesai katanya. Muhammad sudah menerima Al Qur’an sebagai pandangan hidup dari Tuhan, Indonesia sudah merdeka, Orde Lama sudah tumbang. “Pun begitu dengan Orde Baru. Yang tersisa hanya sejarah. Semuanya menjadi kenangan masa lalu kita,” kata sohib saya tadi, yang masih dengan kalimat apatis.

Meski tanpa banyak bicara, pikiran saya kembali kebelakang. Ketika terompet tahun baru dikumandangkan di atas cakrawala Indonesia Raya beberapa hari yang lalu. Mirip sekali dengan sangkakala Isrofil: memekakkan telinga!

Saat itu, waktu menunjukan pukul 23.49, saya masih asyik menghisap rokok di beranda atas rumah. Sayup-sayup merdunya lantunan ayat-ayat suci dari mesjid, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah saya, diiringi dentuman suara petasan tiada henti. Irama yang merdu tersapu oleh derasnya nada mercon. “Beginikah arti sebuah pergantian tahun?” pikirku waktu itu. “Apakah mereka tak pernah memimpikan masa depan yang belum tentu sejahtera?”

Berharap keberkahan dan rahmat Tuhan di hari-hari mendatang, yang dipanjatkan pelantun kalimat-kalimat suci tadi, seolah tak membuat mereka (bagi kebanyakan orang yang mengadakan perpisahan tahun 2011 dan menyambut tahun 2012) bergeser dari keinginan membuat bermacam kegiatan yang --menurut sebagian mereka itu-- bermanfaat.

Masa depan yang menanti dengan gagah. Seolah tak peduli beringasnya “syahwat politik” seantero penjuru negeri, yang kelak bersaing menunjukkan kekuatan di Pemilu 2014. Lihat saja, Partai Kucing Belang Bentong asyik mempersiapkan diri. Partai Tong Tong Sot sibuk pasang wajah jeleknya.

Sementara deru mesin peradaban terus menggoda birahi sejumlah orang. Ya, biar terlihat modern, terlihat lebih cerdas dari kaum mapan, padahal terlihat tanpak “bodoh” dengan kemodernisasiannya itu.

Saya sendiri masih terus bermasturbasi dengan masa lalu, masa kin dan masa depan. Otak yang terus berimajinasi, seolah ingin meruntuhkan dinding klitoris keperawanan masa depan, hingga berteriak lantang: Akulah jiwa merdeka. Akan kutorehkan sejarah masa depan. Maka, selamat datang sorganya sorga.

Saya jadi teringat dengan petuah Saidina Ali r.a. Kholifah keempat, yang juga menantu baginda nabi ini, pernah berkata: “Barang siapa berjalan di belakang zaman, maka zaman akan meninggalkannya. Barang siapa berjalan beriringan dengan zaman, zaman akan mentertawakannya dan barang siapa berjalan mendahulu zaman, dialah sang pemenang, dialah sang pembaharu kehidupan.”

Sungguh luar biasa petuah ini. Soal perubahan, di masa kepemimpinan Soekarno, presiden pertama RI ini juga berteriak lantang: “Beri aku 10 pemuda, maka akan kerubah dunia.”

Selanjutnya, ketika para pejuang-pejuang telah menghantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, maka sesungguhnyalah, kita diminta untuk terus mengobarkan semangat pembaharuan demi masa depan dan cita-cita.

Sebagai generasi muda, sebagai agen of change, sudah sepatutnya kita memberi warna masa depan dengan penuh semangat, penuh kreativtas. Atau masihkah kita terjerembab dalam lubang “kebodohan.” Masihkah kita berfikir: Hari ini adalah hari ini, esok bagaimana besok.

Anggaplah, di tahun ini, kita tidak berserah diri pada Tuhan, tapi engkau bisa melakukan hal yang lebih baik dari pada membuang waktu percuma, minum minuman keras, berjudi dan zina bahkan mengganggu orang yang lagi beribadah di malam hari, dengan teriakan terompet dan petasan, melakukan pembunuhan karakter.

Mengutip istilahnya Karl Max: Pertarungan belum selesai! era “Mega Mechine” boleh menampakkan tarngnya. Tapi proses kreativitas jangan terhenti. Karena pada zaman “kemodalan” sekarang, pertentangan kasta makin tajam. Pertarungan antara kaum buruh yang terbanyak dan tertindas dengan kaum hartawan, yang terkecil, tetapi tetap terkaya dan terkuasa masih berjalan sengit. Sedang kita masih termangu atas segala keterbatasan. Maka bertarunglah wahai kaum muda!

Andriansyah Rachman Syafi'i
Wartawan di Surabaya
Alumni Stikosa AWS

January 9, 2012

Komplek

“Koran-koran!” teriakan seorang penjual koran memecah suasana pagi. “Seorang oknum tentara tewas di lokalisasi!” teriaknya lagi. Orang-orang segera membeli koran yang ditawarkannya. Mereka ingin tahu kejadian sore kemarin. Katanya seorang tentara menjadi korban penusukan oleh orang tak dikenal. Tapi cerita yang beredar dari mulut ke mulut selalu saja tidak jelas. Apalagi dibumbui oleh minuman keras dan gaduhnya musik dangdut. Dan sebenarnya orang-orang tidak benar-benar peduli, mereka asyik saja dengan kegiatan memanjakan syahwat semalaman.

Hari baru saja mulai. Matahari masih terlihat redup setelah semalam menghilang. Sinarnya belum begitu garang. Sementara bulan masih terlihat di langit yang mulai terang. Semakin lama semakin kabur dari pandangan. Setelah menjadi saksi dari pesta-pesta tak terencana di sebuah lokalisasi.

Satu dua warung yang tak pernah tutup masih saja terlihat ramai. Seorang lelaki duduk di sudut sebuah warung kopi. Matanya menerawang jauh. Seakan ingin mengarungi jarak sampai batasnya. Meski suara bising berhamburan di sekitarnya, dia tetap tidak peduli. Perjalanannya belum sampai. Entah berapa lama lagi dia akan bergeming dari sikap seperti itu.

Lelaki itu masih muda. Kumis dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang. Pakaiannya bersih tapi lecek. Mungkin habis dipakai tidur. Ya. Matanya masih agak merah. Mukanya agak berminyak. Ya. Mungkin saja dia baru bangun dari tidurnya.

Sebatang rokok terjepit di sela-sela jari-jari tangannya. Secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas terletak di meja, di depan lelaki itu. Disekitarnya beberapa orang tampak asyik ngobrol dengan suara bising. Laki-laki itu masih seperti tadi.

Warung di pinggri jalan itu semakin ramai saja. Jalanan sudah penuh orang lalu-lalang. Kendaraan meraung mengepulkan asap. Udara pengap. Suara-suara umpatan terdengar bersautan. Kawasan pelacuran itu mulai terbangun dari mimpi indahnya. Setelah semalam bergulat dengan minuman keras, peluh dan kenikmatan. Kemudian terlelap dalam kelelahan.

Ya, mimpi indah itu tujuan setiap orang. Hanya saja cara mereka bermimpi yang berbeda. Mimpi tentang kenikmatan memang dambaan semua orang. Tidak ada orang yang menginginkan mimpi buruk. Bahkan keadaan yang paling buruk dari hasil perbuatan pun masih menjadi mimpi indah bagi yang menginginkannya.

Laki-laki muda itu menghela napas panjang. Mungkin dadanya sesak oleh asap rokok dan juga asap kendaraan yang begitu saja masuk ke dalam paru-parunya. Udara kotor itu semena-mena menerobos lubang hidungnya, tanpa mampu dibendung. Mungkin juga karena kotornya pikiran yang menjejali otaknya. Dadanya terasa sesak. Bagai dibebani batu berkilo-kilo.

Setiap orang punya permasalahannya sendiri-sendiri. Juga jalan pemecahan sendiri-sendiri. Kita semua sama, milik permasalahan. Yang berbeda hanya jalan keluarnya saja. Tergantung bagaimana menyikapinya. Mungkin laki-laki itu punya masalah.
Mungkin istrinya selingkuh dengan teman dekatnya atau tetangganya. Atau dia belum kawin dan pusing memikirkan kekasihnya yang minta kawin. Atau kekasihnya hamil dan menuntut untuk dikawini. Sementara dia tidak punya pekerjaan. Atau dia sedang memikirkan dirinya sendiri yang tidak punya pekerjaan. Sementara ijasahnya menunjukkan huruf S-1, Sarjana Sosial, atau Sarjana Teknik atau sarjana yang lain.

Ya, kita tahu, berjuta sarjana tercetak setiap tahunnya. Yang mendapat kesempatan hanya beberapa. Negeri ini terdapat hampir 40 juta penganggur. Setiap hari mereka butuh makan, atau memberi makan atau jalan-jalan juga tempat tinggal. Mana bisa kalau tak punya pekerjaan. Jangan ngomong kesejahteraan di negeri yang sedang miskin dan mau bangkrut seperti ini. Kesejahteraan itu menjadi mimpi panjang yang tak pernah usai.

Atau dia sedang memikirkan rumahnya yang digusur. Atau daganganya bangkrut. Atau dia memikirkan kontrakannya yang naik ongkosnya. Atau dia sedang menghadapi siluman penarik pungutan yang tak jelas.

Melihat tongkrongannya, mungkin dia seorang sarjana. Dari sorot matanya tergambar pandangan yang bersinar. Tapi kali ini sedikit sayu, mungkin karena baru bangun dari tidurnya. Atau mabuk barangkali.

Mengapa sepagi itu dia sudah berada di warung dalam komplek pelacuran ini. Dengan pakaian kumal, mata merah dan raut wajahnya rusuh. Mungkin semalam dia menumpahkan segala kerusuhan hatinya di komplek kenikmatan ini. Atau entahlah….Banyak orang yang tidak peduli. Mungkin pemandangan seperti ini sudah terlalu biasa sehingga tidak ada orang yang memperhatiakannya. Apalagi memikirkan masalahnya.

Setiap orang hidup dengan dirinya sendiri. Bergulat dengan permasalahannya sendiri. Tidak ada yang peduli dengan permasalahan orang. Tambah repot! Bahkan bisa jadi ikut kena masalah. Buat apa ngurusi permasalahan orang. Di komplek ini perkenalan hanya sesaat. Setelah itu lupa. Buat apa terlalu banyak tahu. Pusing!

Tiba-tiba lelaki muda itu bergerak dari posisinya. Sekarang dia melihat sekeliling seakan mencari sesuatu. Atau dia merasa sedang diperhatikan. Sebentar-sebenatar dia hirup kopi panas di depannya. Sambil sesekali melihat sekelilingnya. Rokok di tanganya semakin pendek saja. Dengan gerakan menjentik puntung rokok itu telah terlempar jauh ke tengah jalan, terlindas roda mobil yang sedang lewat pelan-pelan.
Setelah menghirup kopi untuk yang terakhir dia segera bangkit dari duduknya. Orang-orang mengikuti gerakannya dengan sudut mata mereka. Hanya sebentar setelah itu tidak berbekas sama sekali. Mungkin mereka tidak mengenalnya. Atau tidak menganggapnya penting. Biasa.

Ukuran tubuhnya rata-rata, tidak tinggi dan tidak pendek. Tidak gemuk dan tidak kurus. Mungkin karena itu dia tidak terlalu banyak menarik perhatian. Rambutnya pendek rapi. Penampilannya biasa saja. Tidak ada yang mencolok.

Bergegas dia berjalan menyusuri lorong-lorong sempit. Sesekali berpapasan dengan perempuan-perempuan penghuni komplek yang hendak sarapan atau sekedar membeli kopi atau rokok di warung. Dari kejauhan terlihat mereka saling menyapa. Meski hanya sekedar senyuman. Kemudian segera melanjutkan perjalanan masing-masing.

Mungkin hanya iseng saja. Mereka saling menyapa karena berpapasan di jalan sempit. Atau mereka saling menggoda. Atau mereka mungkin memang saling kenal. Entahlah. Hanya dia yang tahu.

Beberapa anak kecil berlarian di lorong sempit itu. Hampir saja mereka menabrak lelaki muda itu. Dengan sigap lelaki itu menghindarinya. Anak-anak itu tidak peduli. Mereka tetap asik berkejaran sambil berteriak-teriak.

“Dasar lonthe! Kowe sudah aku kasih tau, jangan gendhakan dengan dia. Dia itu hanya mau ‘main’ gratis sama kamu. Kamu dijeratnya dengan cinta. Kalau kamu main sama dia terus kamu gak dapat duwit, aku yang rugi!”

“Tapi, Mi..”

“Wis, gak tapi-tapian. Pokoknya jangan sebentar-sebentar dia ke sini. Kasih tau!”

“Ya…”

Dari sebuah rumah terdengar suara gaduh. Rupanya ada seorang pelacur yang sedang kena marah germonya. Germonya cemburu karena piaraannya hanya mengutamakan pacarnya saja. Ya, cinta memang merugikan. Terutama bagi mereka yang berdagang cinta. Terutama kerugian bagi germonya.

Lelaki muda itu hanya berhenti sebentar. Mungkin ingin mendengarkan saja. Hanya sebentar, kemudian dia kembali berjalan. Menyusuri jalan-jalan sempit di antara rumah-rumah bordil yang berbaur dengan rumah-rumah biasa yang bukan tempat berjualan kenikmatan. Kalau dia mendengar suara yang agak keras dari dalam rumah, dia akan berhenti sebentar untuk sekedar mendengar.

Matahari semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menyakitkan kulit. Membuat kulit gosong jika terpanggang lama-lama. Asap kendaraan semakin padat saja, bagaikan kabut menyesakkan udara. Laki-laki itu keluar dari lorong sempit yang melingkar-lingkar. Dia bergegas menghindari panggangan sinar matahari. Di sebuah masjid kecil dia berbelok kemudian hilang. Mungkin di kamar mandi atau entah ke mana.

Esoknya, pagi sekali. Laki-laki muda itu sudah terlihat duduk di warung kopi yang kemarin. Sikapnya sama. Pandangannya menerawang jauh sekan hendak menembus gugusan rumah-rumah di kampung itu. Di depannya secangkir kopi mengepulkan uap panas dengan aroma khas yang mampu merangsang syaraf-syaraf untuk bergairah. Dari bibirnya tersembur asap dari rokok yang sejak tadi dihisap dan dihembuskannya.

Pagi mulai terbangun. Orang-orang mulai turun dari peraduannya. Para lelaki yang memburu kenikmatan mulai bergegas menjauhi komplek pelacuran itu. Mumpung belum siang benar. Semalam sudah cukup. Sekarang waktunya pulang kembali ke istri masing-masing. Atau bekerja di kantor. Padahal sudah dua hari tidak pulang. Alasannya selalu sama dan terus diulang.

Istri mereka di rumah menunggu dengan sabar. Ada juga yang menunggu suami mereka dengan orang lain. Daripada kesepian lebih baik ada orang lain di kamar. Nah, begitulah balasannya. Begitulah, semua orang punya cara mengatasi kesepian dan mendatangkan kenikmatan dan keindahan. Manusia memang bisa menjadi makhluk yang paling palsu dari semua makhluk.

Laki-laki muda itu masih tetap seperti semula. Gerakan-gerakannya selalu sama. Menghirup kopi dan menghisap rokoknya bergantian. Sampai keduanya habis. Kemudian sebentar-sebentar memandang berkeliling. Menyapu pintu-pintu rumah bordil yang terbuka. Tampak beberapa perempuan asik ngobrol dengan sesamanya. Ada juga yang duduk-duduk di teras sambil sarapan. Ada juga yang hanya merokok di ruang tamu sambil melamun. Mungkin semalam dia benar-benar merasakan nikmat. Sehingga dia terus membayangkan mempunyai pacar seperti tamunya semalam. Tiba-tiba senyuman tipis menghiasi bibirnya. Agaknya dia tersipu sendiri ketika menyadari bahwa lamunannya tak ubahnya mimpi yang akan hilang ketika terbangun dari tidur.

“Apakah adik mencari seseorang di sini?” penunggu warung kopi itu bertanya.
“Ya, saya mencari seorang teman.” Jawab lelaki muda itu. Kemudian pandangannya kembali menelusuri lingkungan kompleks itu. Kadang-kadang bangkit dari duduknya dan menatap tajam suatu tempat.

Tiba-tiba dia bergegas berdeiri, merogoh kantong dan membayar harga minuman dan sebungkus rokok yang telah dihabiskannya. Kemudian tergesa-gesa berjalan menuju suatu tempat. Orang-orang hanya memperhatikannya sekilas saja. penjual kopi itu memperhatikannya agak lama. Tapi perhatiannya terenggut ketika ada seorang laki-laki setengah baya memesan minuman. Lelaki muda itu telah lenyap dari pandangan entah kemana.

Di sebuah lorong sempit lelaki muda itu berhenti. Tepat di samping pintu belakang sebuah rumah. Dia berdiri saja di situ sambil merokok. Sebentar-sebentar di menoleh ke kanan ke kiri. Seperti sedang mengawasi. Terdengar ketukan halus di pintu.
“Siap?” Laki-laki muda itu berkata lirih.

“Ya.” Sahut suara halus seorang perempuan.

“Bukalah.”

Terdengar suara kunci di putar. Pintu itu terbuka sedikit. Seraut wajah tergambar di celah-celah. Nampak bayangan ketakutan di wajahnya.

“Cepat mumpung masih pagi.” Laki-laki muda itu berkata dengan nada di tekan.

“Aku…”

“Bawa semua yang bisa kau bawa.”

“Aku su…su…sudah siap.” Sahut perempuan itu tergagap.

Pintu terbuka semakin lebar. Perempuan itu keluar sambil mengendap-endap. Dengan sigap lelaki muda itu meraih tangannya. Barang bawaan perempuan itu telah berpindah tangan. Dengan langkah lebar lelaki muda itu menggandeng perempuan yang keluar dari sebuah rumah pelacuran itu. Perempuan itu berlari-lari kecil mengikuti langkah lelaki muda itu.

“Hoii, mau kemana!” teriak seorang lelaki bertubuh gempal yang kebetulan lewat gang itu. “He…balon mau kemana kau!” Lelaki penjaga itu berteriak-teriak sambil berlari mengejarnya. Laki-laki dan perempuan itu semakin cepat berlari melintasi gang yang berkelok-kelok seperti labirin. Sesekali menabrak orang yang lalu-lalang. “Jancok! Matane picek!” Orang itu mengumpat. Sementara yang lain hanya melihat saja. Hanya memandang tiga orang yang kejar mengejar itu.. Kemudian berjalan kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka juga tidak mau tahu ada masalah apa. Karena setiap orang punya persoalannya masing-masing.

“Koran-koran,” seorang penjaja koran berteriak sambil mengendarai sepeda.

Agung Purwantara
Pegiat sastra di Surabaya,
Alumni Stikosa AWS

December 31, 2011

Pusat Perkulakan di Pasar Keputran

"Karena harga lebih murah dari pasar mangga dua Bapak budiarto lebih memilih memborong sayuran di pasar keputran untuk di dagangkan," ungkap pembeli asal sidoarjo tepatnya di daerah jalan sawo tratap itu.

Menghirup udara yang amis bercampur bau tanah pun terhirup di hidung sejenak berpikir anak manusia yang beraktivitas sebagai penjual dan pembeli yang melakukan transaksi untuk mendapatkan keuntungan dari tujuanya. karena suasana yang ramai menjadi berkeringat pasca hujan. Berlalu lalang para pedagang dan pemasok mengitari pasar yang semakin ke dalam semakin sempit dan gerah. lorong-lorong yang sempit pun di serbu pembeli dan pedagang yang berbicara lantang kesana kemari. Dalam menjelajahi pasar induk tradisional melangkah setapak demi setapak sampai berdesak-desakan.

Setelah menjelajah kesana kemari, sering kali menjumpai orang yang berbondong-bondong berbelanja mencari sesuatu yang dipikirkan untuk kebutuhannya. Dengan suasana sibuk, para pemasok pun menggangkut sekarung sayuran dan buah-buahan yang diangkat dengan penuh sesak. Banyuwangi dan jember menjadi pemasok yang sering masuk di perdagangan dan juga daerah Batu, Malang, Pasuruan, dan sekitarnya.

Pedagang dan pemasok sayur-mayur mulai beraksi mengangkut secara bergotong-royong. Di saat itu kebetulan saya menemui seorang bapak yang berusia 40 tahun yang sibuk melayani pelanggannya ternyata beliau seorang pengusaha warkop. Bapak itu setiap harinya mendapat kurang lebih 300 ribu per hari dari dagangannya sebagai pengusaha warkop. Hanya bermodal 100 ribu dan disertai jajan gorengan untuk memperlengkap dagangannya sebagai sampingan. Cukup untuk membuat dagangannya laris manis, katanya. Karena menempati tempat yang strategis yakni di pusat perkulakan menjadi keuntungannya. Ungkap suami Ibu Emi tersebut.

Setiap harinya gerobak jualan bapak asal Mengganti itu di titipkan di rumah warga sekitar di saat pukul enam pagi, karena waktu aktivitas pedagang sudah di tentukan oleh pemerintah yang di jaga ketat oleh satpol PP untuk menertipkannya. Sehingga warkop Pak Kan (nama panggilan) juga ikut terusir. Dengan biaya penitipan gerobak seharga 10 ribu per harinya. Ia tidak susah-susah mondar-mandir dengan gerobaknya itu. Lanjutnya.

"Para penjual sayuran di sekitar keputran harus segera berbondong-bondong membereskan dagangannya karena itu di pakai untuk pengguna jalan kala menghindari kemacetan di waktu aktivitas kerja yang memadati daerah jalan keputran dan sekitarnya." Ungkap soleh pria penjaga parkir asal Madura itu.(Rama Gumilang Ardiansyah)

Nasib Malang Pedagang Keputran

Makanan merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan sehari – hari kita, makanan yang baik adalah 4 sehat 5 sempurna. 4 sehat diawali dari nasi yang merupakan makanan pokok masyarakat indonesia, kemudian ditambah dengan mengkonsumsi lauk pauk seperti ikan laut, daging ayam, tahu tempe, daging sapi atau kambing, dan dilengkapi dengan sayura - sayuran dan buah – buahan. Akan menjadi 5 sempurna jika ditambah lagi dengan mengkonsumsi susu sapi. Segala bahan dasar makanan tersebut dijual bebas di pasar – pasar tradisonal yang terdapat di setiap kota hingga kepelosok – pelosok daerah di Indonesia . Mulai dari sayur - sayuran, buah – buahan, bunga, dan kebutuhan bahan pokok lainnya tersedia di Pasar Tradisional.

Di Jawa Timur, terdapat ribuan pasar tradisional yang menyediakan bahan – bahan dasar makanan secara lengkap guna menunjang kebutuhan pangan masyarakat khususnya di wilayah Jawa Timur. Salah satu pasar tradisional terbesar di Jawa Timur adalah Pasar Keputran yang berada di tengah – tengah kota Surabaya, tepatnya di sepanjang jalan Keputran yang letaknya bersebelahan langsung dengan gedung – gedung pencakar langit seperti Wisma Dharmala dan Plaza BRI.

Pasar Keputran saat ini merupakan pemasok utama sayur - sayuran ke pasar – pasar kecil yang berada di sekitar kota Surabaya, seperti Pasar Rungkut, Pasar Gubeng, Pasar Bandar Rejo, Pasar Asem, dan masih banyak lagi. Selain Surabaya, Pasar Keputran juga memasok bahan – bahan dasar makanan berupa sayur – sayuran ke wilayah Gresik, dan Pulau Madura. Hal tersebut disebabkan karena Pasar Keputran telah menjadi tempat pusat pengiriman hasil perkebunan provinsi Jawa Timur di kota Surabaya. Dewasa ini jumlah pedagang di Pasar Keputran mencapai ratusan orang, sebelumnya jumlah pedagang bisa mencapai ribuan orang. Jumlah tersebut menurun setelah dilakukan pengusuran oleh Pemerintah kota Surabaya satu tahun yang lalu, guna mengembalikan fungsi jalan dan membuat ruang terbuka hijau dibantaran sungai kalimas sekitar Pasar Keputran.

Salah satu pedagang yang berjualan sayur – sayuran di Pasar Keputran adalah Khusnul. Wanita berkerudung berdarah Madura ini sudah berjualan di Pasar Keputran sejak lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1996 saat dirinya masih berumur lima belas tahun. Hasil yang diperoleh Khusnul dari lima belas tahun bejualan di Pasar Keputran adalah rumah yang saat ini ditempati bersama suaminya yang bernama Abdulah, di daerah Gubeng Jaya. Khusnul mengawali usahanya dengan modal uang tiga ratus ribu rupiah, dan mulai berdagang dengan berjualan jagung dan tomat.

Setelah tiga tahun, usaha Khusnul mengalami kemajuan, dan di tahun – tahun berikutnya pendapatan usahanya mengalami naik turun. Awalnya, Khusnul membeli hasil perkebunan dari kabupaten Malang, seperti tomat, seledri, buncis, jagung, ketela, dan daun bawang, jumlahnya bisa mencapai dua mobil pick up, bahkan tak jarang sampai satu truk. Namun, setelah pengusuran yang terjadi di tahun 2010 lalu, telah membuat usaha Khusnul goyang, sebab keuntungan yang diperoleh menurun tajam. Dampak dari pengusuran Pasar Keputran telah membuat banyak pelanggan Khusnul beralih ke Pasar Mangga dua, Pasar Induk Osowilangun (PIOS), dan Pasar Porong.

Sebagian besar pelanggannya berasal dari desa - desa yang berasal dari Pulau Madura yang saat ini sudah tidak lagi membeli sayuran ke Pasar Keputran setelah terjadi pengusuran tahun lalu, apalagi sejak berdirinya jembatan Suramadu semakin mempermudah akses transportasi pembeli dari Pulau Madura untuk langsung menuju ke Pasar Porong, PIOS, dan Mangga Dua, yang saat ini harga sayurannya relatif lebih murah dibandingkan dengan Pasar Keputran. Sekarang Khusnul hanya mampu menjual barang dagangannya sebanyak satu becak saja. Itu pun tidak lagi memasok dari kabupaten Malang, melainkan dari Pasar Porong.

Tak pelak, harga jual yang dipatok Khusnul sekarang lebih mahal lima puluh persen dibandingkan dengan sebelumnya, karena tidak langsung mengambil sayuran dari petani perkebunan. Buncis yang dulu dijual oleh Khusnul dengan harga seribu rupiah per kilo, kini menjadi dua ribu perupiah per kilo, itu pun terkadang masih di tawar oleh pembeli seribu rupiah, kemudian tomat yang dulu dijual dengan harga paling tinggi empat ribu rupiah, kini menjadi sepuluh ribu rupiah per kilonya.

Dulu,sebelum pengusuran Khusnul mampu membeli barang dagangan sebanyak dua mobil pick up sampai satu truk dan dapat menjual buncis sebanyak lima hingga sepuluh karung per hari kemudian tomat sebanyak lima belas sampai dua puluh peti, dan jagung yang berjumlah satu mobil pick up per hari. Sekarang satu mobil pick up saja diisi bersamaan dengan barang dagangan tiga pedagang lainnya. Tak hanya itu, sekarang satu karung buncis terkadang tidak habis terjual dalam satu hari, tomat yang dulu mampu terjual lima belas sampai dua puluh peti, kini hanya dua peti saja untuk tiga hari, dan penjualan jagung yang dulunya mencapai satu mobil pick up per hari, sekarang per harinya cuma satu karung berukuran sedang saja.

Pertama kali berdagang, Khusnul menempati stan tepat di sebelah Gedung Wisma Dharmala, karena ada konflik dengan pedangan lainnya, Khusnul akhirnya berpindah tempat di sekitar Jalan Irian Barat yang saat ini sudah digusur dan dijadikan area Wall Climbing Park oleh Pemkot Surabaya. Setelah pengusuran tersebut, Khusnul pindah tempat lagi disekitar trotoar jalan Keputran hingga saat ini.

Untuk mendapatkan tempat baru, Khusnul harus merogo kocek hingga dua juta rupiah yang dibayarkan kepada koordinator pedagang Pasar Keputran yang berada diluar bangunan resmi, yaitu Haji Muhammad yang tak lain merupakan preman yang menguasai daerah pasar Keputran. Setiap harinya, Khusnul diwajibkan membayar uang restribusi sebesar lima belas ribu rupiah untuk keamanan dan kebersihan, dan lima ribu rupiah lagi untuk uang lampu. Total satu hari Khusnul mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah. Tarif restribusi tersebut tidak sesuai dengan jumlah pengahasilan Khusnul per hari yang hanya mencapai seratus ribu dan bersihnya tiga puluh ribu. Selama satu bulan berdagang, Khusnul hanya menerima laba bersih sebesar tiga ratus ribu saja.

Keuntungan tersebut berbanding jauh ketika Pasar Keputran belum mengalami pengusuran. Sebelum digusur, pengahasilan Khusnul satu bulan bisa mencapai jutaan rupiah. Hal tersebut membuat Khusnul dan suaminya saat ini tidak mampu lagi untuk menghidupi keempat anaknya, yang sekarang dititipkan ke rumah orang tuanya di Bangkalan, Madura. “Jualan di Pasar Keputran sekarang ini banyak ruginya mas, beda sama dulu sebelum digusur.”Sekarang bisa buat makan saja sudah Alhamdulillah”, tutur Khusnul dengan logat Maduranya. Menurut pelanggan Khusnul yang bernama Ibu Pur, seorang pedagang sayur di daerah Babatan Logajari, Khusnul adalah pedagang yang memiliki sifat penyabar dan tidak pernah marah kalau harga barang dagangannya ditawar.

Khusnul terlahir di Kabupaten Bangkalan tiga puluh tahun yang lalu, saat masih berumur empat belas tahun, Khusnul sudah bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga dan orang tuanya dengan menjadi buruh tani. Di umurnya yang ke lima belas tahun, dia memutuskan untuk menikah dengan pria satu desanya yang bernama Abdulah, yang kemudian mengajaknya pergi merantau ke Surabaya untuk berdagang di Pasar Keputran.
Harapan Khunul kepada Pemerintah Kota Surabaya agar tidak melakukan pengusuran lagi, sebab pembeli akan semakin sepi bila dilakukan pengusuran lagi dan akan bertambah banyak pedagang Pasar Keputran yang gulung tikar yang kemudian memutuskan untuk menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia dan Arab Saudi seperti yang terjadi belakangan ini.(Wahyu Satriawan/10.31.3676/Broadcasting)

Pos Polisi itu Berfungsi Kembali

Isu relokasi pasar keputraan yang mencuat ke publik, tak membuat gerah para pedagang yang berjualan di sekitar jl. Basuki rahmat, jl. Keputraan dan jl. Kayoon. Aktifitas para pedagang masih seperti biasanya, situasi pasar sangat ramai dan padat.

Ada pemandangan yang sangat menarik di sekitaran pasar keputraan, di pojok pertigaan antara jl. Basuki rahmat dan jl. Kayoon, Terdapat bangunan belanda yang masih kokoh berdiri, dan setelah di cermati bangunan tersebut adalah pos polisi. Bangunan yang dulunya sempat tidak berfungsi akibat melubernya pedagang yang berjualan di pasar keputraan, pada akhir tahun 2010 bangunan ini brfungsi kembali sebagai pos polisi.

Menurut AIPTU Sudibyo (anggota kepolisian sektor tegalsari), bangunan yang beralamat di jl. Keputraan no.1 dulunya berfungsi sebagai tempat logistik atau tempat untuk menyimpan beras polres surabaya selatan, dan di tahun 2000 an bangunan ini sempat terpendam oleh melubernya para pedagang pasar keputraan dan pedagang menaruh sebagian dagangannya di dalam bangunan ini.

Di tahun 2010, polsek tegalsari memugar dan membenahi bangunan tersebut kemudian, di fungsikan kembali sebagai pos polisi untuk memantau keamanaan di sekitar pasar keputraan. Ada 4 ruangan dan 1 kamar mandi di dalam bangunan tersebut. Setiap harinya ada 2 orang anggota kepolisian yang bertugas di pos polisi tersebut. Mantan anggota reserse polsek karang pilang itu juga mengungkapkan, ada wacana pada bulan januari 2012 akan ada penertiban pedagang, keterangan tersebut di dapat dari pembicaraan dengan orang pemkot “ini hanya wacana lho mas, sambil nyeruput kopi nya”.

Menurut pedagang yang berjualan di sekitaran pos polisi tersebut, ada sisi positifnya berfungsinya kembali pos polisi tersebut. Selain memantau keamanan sekitar pasar keputraan, juga bisa mengkondisikan jalan di sekitar pasar keputraan ungkap sri (pedagang sayuran). Bila di tanya sejak ada pos polisi tersebut merugikan apa enggak, ya pasti tidak merugikan mas karena kita saja jualan di trotoar jalan dan bila ada penertiban ya itu sudah resiko, Ujarnya.(Tedi Wibowo)